Malik tergolek lemas.
Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah
seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan
tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap
melihatnya muntah, hatiku tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas
habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan.
Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.
Waktu itu, belum
sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah
tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga)
kami, dokter Knol namanya.
"Just wait and
see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata
dokter tua itu.
"Ha? Just wait
and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?" batinku meradang. Ya…ya…aku
tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa
ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak!
Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.
"Obat penurun
panas Dok?" tanyaku lagi.
"Actually that
is not necessary if the fever below 40 C."
Waks! Nggak perlu
dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung?
Kesalku kian membuncah.
Tapi aku tak ingin
ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik
obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah
lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk
obat-obatan dari Indonesia,
termasuk obat penurun panas.
Dua hari kemudian,
demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku
segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see.
Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga
hari ke tujuh.
"Anakku ini
suka muntah-muntah juga Dok," kataku.
Lalu si dokter
menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu obat?"
Aku mengangguk.
"Ibuprofen syrup Dok," jawabku.
Eh tak tahunya
mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa kamu kasih
syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak
diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk
anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."
Huuh! Walaupun
dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel
dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau
buat anak nggak baik kenapa di Indonesia
obat itu bertebaran! Batinku meradang.
Untungnya aku masih
bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban
kekesalanku."Lha wong di Indonesia,
dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq,
38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun
panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas,
bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!"
Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.
"Mana Malik
nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau
suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!"
Suamiku menimpali,
"Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?"
Aku menarik napas
panjang. "Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin
buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"
Mendadak aku
kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak
mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian
anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya
secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling
keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi
ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga
hari mengunjungi Vienna.
Puas beberapa hari berdiam di Berlin
dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia.
Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota
utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum
disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh
graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah
kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap
bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun
sering mengintip resep ajian senior!
Setelah Malik
sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara
Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya
memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang
hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali
mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi
perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa
sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan
obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung
hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera
kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.
"Just drink a
lot," katanya ringan.
Aduuuh Dook! Tapi
anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.
"Apa nggak
perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.
"This is
mostly a viral infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi.
Ggrh…gregetan deh
rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak
pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.
"Lalu Dok,
buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan," kataku
ngeyel.
Dengan santai si
dokter pun menjawab,"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat
juga banyak koq."
Hmm…lumayan lah…
kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan
perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya
berisi ekstrak daun thyme dan madu.
"Kenapa sih
negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini." Aku
masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku
memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada
di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia,
anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini
pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas
kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anakanakku sendiri. Dan
walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi
pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke
dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru
mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat
dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.
Tak lama berselang
putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku
kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan
sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu
ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke
huisart.
"Dok anak ini
koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok.?
Setelah
mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang
hidungnya,huisart-ku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral infection."
Aduuuh Doook… apa
nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi aku sebal.
"Tapi Dok, dia
sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," aku ngeyel
seperti biasa.
Dokter tua yang
sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. "Do you know how many times
normally children get sick every year?"
Aku terdiam. Tak
tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal.
"Twelve time
in a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu
tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.
Glek! Aku cuma bisa
menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang
ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah
sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini
kurang belajar.
Setelah aku bisa
beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan
internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang
ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini: "Batuk -
pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan sebenarnya
masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter
bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun." Wah persis
seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering
sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.
"Bila ini yang
terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya,"
Lanjut artikel itu. "Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung
antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan
oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak,
antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga
keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi
imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit
setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.
Lingkaran setan
ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan
membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama
bertahun-tahun."
Hwaaaa! Rupanya ini
lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini
sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan
salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali
lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan rupanya,
setelah di Belanda 'dipaksa' tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit
khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini,
mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.
Kemudian, aku membaca
lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku
tercenung mengingat kata-kata 'pengobatan rasional'. Lho…bukankah dulu aku juga
pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana
perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti
baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat
penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari
anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah
panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin.
Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm... kalau begitu,
sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul
apa itu pengobatan rasional.
Belakangan aku pun
baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada
anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai
secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar,
Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga
tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di
kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama
pada anak yang mengalami demam. "Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke
huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya
malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe," kataku pada suamiku.
Jadi, bagaimana
dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal
mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan,
ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit
anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif 'terlindungi' dari paparan
obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang
cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan
selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan
media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit
ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah
ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun
bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter 'menjual' obat tertentu
melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.
Dan bagaimana pula
dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik
dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah
aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya
lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak,
anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya
besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi
mengapa semua itu terjadi?
Duuh Tuhan, aku
tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada
manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku
sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak
menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan
tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para
orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai
keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang
raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!
Tapi yang pasti
kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di
Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter
tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' untuk konsultasi, memastikan
diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku
bahwa anakku baik-baik saja.
Tapi di Indonesia,
bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga
tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku
juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat
nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada
peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat
apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di
Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.
Lalu dimana ujung
pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya.
Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak
bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas
kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi
seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat
sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun
tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk
merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan
di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan
kesalahan medis tentu bisa diturunkan.
Dikutip dari buku
"Smart Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum
—