Pages

Kamis, 26 Januari 2012

Agar kata "cerai" tak terucap

Sering sekali saya mendengar berita perceraian. Baik itu artis, teman bahkan saudara saya sendiri. Kata-kata "cerai" seakan menjadi momok yang menakutkan bagi saya untuk melangsungkan pernikahan. Tapi akhirnya momok itu menjadi hilang entah kemana sejak saya mengenal seorang lelaki yang sekarang menjadi suami saya.  Cintanya yg tulus benar-benar mampu mengusir segala keraguan, segala ketakutan dll. Dia benar-benar membuatku yakin, bahwa bersamanya aku tak akan menjumpai kata-kata  "cerai". Hari demi hari setelah pernikahan saya lalui dengan bahagia. Sampai akhirnya saya melalui jalan bergeronjal. Saya dan suami tengah berselisih mengenai suatu hal. Saya mempunyai pendapat yang menurut saya benar. Suami saya pun punya pendapat yang menurut dia benar. Kami berdua saling kukuh gak ada yang mengalah. Akhirnya saya jadi berfikir, jika diantara kita berdua gak ada yang mau mengalah pastilah perselisihan ini gak akan ada ujungnya. Ego kita saat itu benar-benar sedang tinggi-tingginya. Maklum kita pengantin baru (baru saja melepas status "single"), masih muda, masih labil dan masih sama-sama emosional. Saya pun terdiam lama, sampe akhirnya saya lupa permasalahan ini berawal darimana. Meski saya lupa saya masih tetap marah (biasa perempuan suka lebay..pengennya diperhatikan, dirayu, dimanja, dimengerti), padahal saya gak tau marah untuk apa. Kadang seh pengen ketawa sendiri xixi. Maw minta maaf tapi gengsi, hmm...jadi berfikir mungkin begini ya awal perceraian itu. Berawal dari hal kecil lalu menjadi besar. Hal ini didukung pula dengan tidak adanya saling pengertian dari kedua belah pihak, sama-sama keras dan tidak ada yang mau mengalah. Lagi-lagi saya merasa beruntung mempunyai seorang suami yang sabar. Tidak seperti saya yang mudah meledak (kayak elpiji xixixi).  Dia selalu punya cara untuk memulai pembicaraan kami dengan baik. Entah dengan menggodaku, memanjakanku atau bahkan membelikan yang aku suka. Meski terkadang saya masih saja menggodanya dengan memasang tampang cemberut, yang artinya usaha dia untuk membujukku kurang berhasil (hahaha). Jahat ya??tapi saya paling suka bagian ini. Rasanya kalo melihat usaha suami merayu atau membujuk istri tuh seneng banged, seakan-akan kehadiran saya sebagai pendamping hidupnya benar-benar dibutuhkan. Hal ini seakan membuatku "terbang"  (hehe dramatis banged ya). Nah berdasarkan dari pengalaman tsb, saya bisa menyimpulkan (mohon dikoreksi ya kalo ada yang kurang berkenan) kalo  kata "cerai" tuh muncul ketika masing-masing pihak baik suami/istri merasa tidak saling dibutuhkan. Suami merasa bahwa istri tidak membutuhkannya, begitu pula sebaliknya. Alhasil masing-masing pihak merasa keberadaan mereka bagi pasangan mereka tidak ada artinya. So..buat para suami atau istri mari kita sama-sama memperbaiki diri. Mari kita bersama-sama menciptakan suasana yang membuat pasangan kita merasa dibutuhkan.Karena  kata "cerai" harusnya memang tidak ada di dalam kamus hidup kita. Kalaupun kata tersebut muncul, itu semua karena "kita". Kita yang membuat kata "cerai" itu hadir dalam hidup kita. Andai saja kita bisa lebih bersabar dalam menghadapi masalah. Andai saja kita mampu mengungkapkan rasa cinta kita terhadap pasangan, rasa betapa kita menginginkannya, betapa kita membutuhkannya. Ahhh...udah ah gak usah berandai-andai hehe. Buat sahabat bunda yuks mari kita sama-sama belajar menjadikan rumah tangga kita sakinah mawaddah warahmah :).

Rabu, 25 Januari 2012

Kenapa Perempuan Lebih Mudah Tersinggung ?

Capek...Lapar...Stress. Benar-benar menjadi pemicu kita menjadi lebih mudah "tersinggung". Apalagi bagi kita-kita para kaum hawa. Entah kenapa perempuan lebih mudah tersinggung daripada lelaki. Jika terkena omongan yang sedikit tajam dan pedas, langsung deh terbakar hatinya (xixixi lebay). Bagai bara tersiram minyak tanah/bensin. Langsung terbakar. Saya sendiri terkadang masih sering "tersinggung", sering moody, susah menahan amarah, awas loh ya jangan dekat-dekat hehe. 

Konon katanya perempuan memang ditakdirkan seperti itu (asyik ada yg membela xixixi), namun hal itu terbantahkan karena ada juga perempuan yang sangat rasional dan tidak mudah tersinggung. So...apa sebabnya perempuan lebih mudah tersinggung??



Kondisi ini ternyata dipengaruhi oleh otak perempuan yang lebih mudah mengalami stress, mudah depresi, dan perubahan suasana hati. Sebuah studi menemukan bahwa 1 dari 4 perempuan dilaporkan mengalami depresi, sedangkan laki-laki 1 dari 10.

Para ilmuwan dari University of Montreal mengungkapkan bahwa otak perempuan menghasilkan hormon serotonin (hormon bahagia) yang lebih sedikit dibanding laki-laki. Diketahui otak laki-laki memproduksi 52% lebih banyak dibanding perempuan. 

Kondisi ini terkait dengan adanya perbedaan hormon seks laki-laki dan perempuan. Pada perempuan hormon estrogen dan progesteron telah lama dikenal bisa mempengaruhi perilaku seseorang. Seorang pakar dari University of California Irvine School of Medicine Dr. Novac, menuturkan bahwa estrogen mempunyai efek yang lebih besar pada perempuan karena tingkat fluktuatif hormonnya. 

Estrogen bisa merangsang reseptor seronin di otak. Ketika kadar hormon berfluktuasi, maka sensitivitas seronin di otak juga mengalami perubahan sehingga jumlah hormon yang diperlukan bisa jadi tidak mencukupi. Kondisi ini pula yang membuat perempuan moody saat menjelang masa menstruasi.

Hmm..pantes perempuan kalo kesenggol dikit langsung marah xixixi. Harus dibaca para kaum lelaki nih supaya mereka memahami bahwa pasangannya menyimpan sedikit hormon serotonin (hormon bahagia). So buat para suami..kalo gak mau kena getahnya, ayo bahagiakanlah kami para perempuan..para istri sampai ilang depresinya hehe. 

utk suamiku, makasih sudah membuatku tersenyum selalu 

salam ruang rindu


Kenapa Dokter-Dokter di Negara Maju "pelit" kasih obat?

Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.

Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.

"Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata dokter tua itu.

"Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?" batinku meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.

"Obat penurun panas Dok?" tanyaku lagi.
"Actually that is not necessary if the fever below 40 C."

Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.
Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.

"Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu obat?"

Aku mengangguk. "Ibuprofen syrup Dok," jawabku.

Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.
Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku."Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!" Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.

"Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!"

Suamiku menimpali, "Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?"
Aku menarik napas panjang. "Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"

Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!


Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.

"Just drink a lot," katanya ringan.

Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.

"Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.

"This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi.

Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.
"Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan," kataku ngeyel.

Dengan santai si dokter pun menjawab,"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq."
Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.

"Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini." Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anakanakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.

Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke huisart.

"Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok.?

Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral infection."


Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi aku sebal.

"Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," aku ngeyel seperti biasa.

Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. "Do you know how many times normally children get sick every year?"

Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal.

"Twelve time in a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.

Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.

Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini: "Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun." Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.

"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya," Lanjut artikel itu. "Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.

Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun."

Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda 'dipaksa' tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.

Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata 'pengobatan rasional'. Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm... kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. "Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe," kataku pada suamiku.

Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif 'terlindungi' dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!

Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.

Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.

Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.


Dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum

Selasa, 24 Januari 2012

Menciptakan bahagia

Masih teringat dibenakku, saat itu baru satu tahun kami menikah...masih benar-benar terasa kehangatan cinta kami. Ditambah lagi dengan hadirnya buah hati kami. Semua benar-benar tampak indah di depan mata. Secuil luka....secercah goresan benar-benar tak tampak. Cinta benar-benar telah membuat kita berdua mabok kepayang.hehe... .(Semoga sampai akhir hayat kami berdua bisa menjaga keharmonisan ini). Sampai suatu saat terjadi perselisihan pertama kita, hanya karena masalah sepeleh.  Awalnya kami tidak menganggap itu sebagai masalah, namun hari demi hari perbincangan kita selalu mengarah kesana.So, menurut kami masalah ini harus diselelesaikan demi keberlangsungan kehidupan harmonis rumah tangga kami. Ternyata menyelesaiakan masalah ini gak semudah yang kita bayangkan. Ego dari kami berdua benar-benar membuat kita terperangkap pada masalah ini. Sampe akhirnya datanglah sepucuk puisi cinta tepat dihari ulang tahunku dari suamikuw tercinta. 

Saat fajar bukakan jendela kehidupan hari ini,
Maafkanku untuk tak sempurna sembahkan tiara hidup yang tak kupunya
Untuk melodi yang tak sempat kugubah

Hanya sekuntum kembang kata – kata usang
Untuk kau simpan dalam ingatan

Tentang mata angin penjuru batin
Yang belumlah fasih mengja makna hadirmu di langit – langit usia

Terima kasih untuk hampiriku, peluki aku
Dan tawarkan berjuta kebajikan
Dan yang menjauhkanku dari kesilapan

Untuk awan yang melindungi dari teriknya siang
Dan untuk segenap keikhlasan menjadi mata angin
Pembaca kesesatan hujan dan amarah badai

Tentang rasa syukur untuk rumah cinta yang wangi dan asri tertata
Dimana selalu ada arah pulang bagiku
Mengkaji peluh, tangis, dan tawa di berandanya

Selamat ulang tahun bunda
Selamat ulang tahun sahabat dan kekasih jiwa

Semoga kau selalu hadir menjaga rencana bagi takdirku
Untuk senantiasa tak lelah menggenggam nafas
Mencari cahaya penuntunmu

Karena bagi kami, aku dan bintang kecil putra kita
Senyum dan amarahmu adalah puisi Tuhan yang terindah
Dimana sejuta kata – kata semesta takkan sanggup menemukan wujudnya
Semoga kau senantiasa hadir menjadi ruh sempurna
Bagi udara yang menghidupkan

Alhamdulillah...ya Robb, bersyukur sekali Allah menghadiahi saya suami soleh, yang gak egois, gak semena-mena, berkepala dingin, romantis, jujur, bertanggung jawab, amanah, gak pelit pokoknya superr banged. Rasanya hilang semua amarah saat membaca puisi ini yang ada hanya butiran-butiran air mataku yang mengalir deras gak kunjung berhenti hehe (klo gni melow bnged dah xixi). Ya Allah, malu rasanya diri ini yang telah bersih kukuh dengan pendapat yang belum tentu benar. Maafkan hamba ya Allah...
Sesaat kemudian suamiku mencoba membahas masalah yang sempat tertunda itu. Hasilnya WOW....langsung ada jalan keluar, hehe. Ternyata menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan saat hati sedang berbunga-bunga tuh gampang ya, gak pke rumit. Esok harinya, aku mencoba membalas secarik puisi abi. ini dia puisi untuk suamiku

Tuhanku
Hari demi hari sudah kami lewati bersama
Banyak suka dan duka yang telah kami lalui berdua
Banyak tawa dan air mata yang telah kami bagi berdua
Banyak juga bahagia dan penderitaan yang telah kami jalani bersama

Saat dia terbaring lelap disisiku
Kulihat seluruh kelelahan tergambar di wajahnya
Kulihat sejuta keletihan tergurat di wajahnya
Namun tak pernah kudengar keluh kesahnya akan semua itu

Dan saat aku berbaring disisinya
Aku berharap malam tidak bertemu fajar
Gelap tak berganti terang
Sehingga aku dapat memeluknya .... erat selamanya

Selalu kukatakan kepada-Mu, betapa bersyukurnya aku
Engkau telah berikan aku pangeran tertampan yang pernah kumiliki
Yang memberikan ksejukan di hatiku .... selalu
Hanya doa pada-Mu yang kupunya untuknya
Agar kami bersama hingga Engkau jemput kami berpulang pada-Mu

Tuhanku,
Mungkin aku bukan wanita sempurna yang selalu ada dalam tiap mimpi-Nya
Mungkin aku juga tidak seindah harapannya
Mungkin aku juga bukan wanita terbaik dalam hidupnya
Tapi aku wanita yang mencintainya dengan seluruh jiwa dan ragaku ... tulus
Engkaupun tahu itu ......

Belum usai membaca, saya sudah hujan ciuman dan pelukan hehe. Ternyata menciptakan bahagia itu mudah ya. Mungkin yang sulit adalah memelihara agar bahagia itu senantiasa tumbuh dan merekah, mengalir setiap saat meski hanya sedikit ^^. Nah sahabat, mari kita mencoba menciptakan bahagia pada keluarga kita, pada rumah tangga kita, pada kehidupan kita. Salam bahagia selalu ^^

Ruang Rindu Bunda

Assalamualaikum.....

Assalamualaikum...sahabat bunda ^^
Blog Ruang Rindu Bunda hadir untuk mewarnai dunia para blogger :). Sekedar mencoba membagi kisah, cerita, curahan hati seputar anak, suami, istri, kehidupan rumah tangga dll. Semoga semua sahabat bunda bisa menikmati semua warna yang ada di Ruang Rindu Bunda ^^. Salam Kenal Semuanya....